TNI mengklaim telah mematuhi prosedur operasi standar, tetapi adanya warga sipil di zona berbahaya saat tragedi Garut justru menunjukkan hal sebaliknya.
Hilangnya 13 nyawa dalam ledakan terkait pemusnahan amunisi kedaluwarsa di Garut, Jawa Barat, pekan lalu, merupakan tragedi. Meskipun Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah berjanji untuk melakukan investigasi menyeluruh atas kecelakaan tersebut, hasilnya tidak akan ada artinya tanpa akuntabilitas dari pejabat yang berwenang serta perbaikan dalam mekanisme pemusnahan amunisi.
Seharusnya, tak seorang pun perlu kehilangan nyawa dalam kegiatan yang selama puluhan tahun rutin dilakukan di ladang milik Badan Konservasi Alam kabupaten tersebut, jika semua mengikuti prosedur ketat. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa militer telah mempekerjakan warga sipil untuk tugas berbahaya tersebut. Padahal, tugas itu butuh keahlian khusus yang hanya dimiliki oleh prajurit terlatih.
Sembilan dari korban tewas adalah warga sipil, salah satunya diyakini telah membantu militer dalam pekerjaan pemusnahan serupa selama 10 tahun. Kompas melaporkan bahwa TNI telah mempekerjakan sekitar 20 warga dalam setiap kegiatan.
TNI mengaku telah mematuhi prosedur operasional sesuai standar. Tapi, keberadaan warga sipil di daerah berbahaya justru menunjukkan hal sebaliknya. Tak heran jika kelompok masyarakat sipil menuding TNI kurang tanggap dalam memberi keamanan kepada warga sekitar. TNI juga dituduh kurang maksimal dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan prosedur keselamatan di lokasi pemusnahan.
Menurut prosedur standar, kegiatan pemusnahan peledak baru boleh dilakukan setelah mendapat izin dari pejabat berwenang, kecuali jika keadaan mendesak atau membahayakan. Cara pemusnahan amunisi adalah dengan dibakar atau diledakkan. Pemusnahan dilakukan dengan memperhatikan sifat dasar amunisi, persyaratan keamanan, dan unsur teknis lainnya. Tidak disebutkan adanya keterlibatan warga sipil.
Ledakan di Garut bukanlah yang pertama kali terjadi dengan amunisi milik militer. Pada September 1984, gudang amunisi di Markas Besar Marinir di Cilandak, Jakarta Selatan, meledak. Peristiwa tersebut menewaskan sedikitnya delapan orang. Dampak ledakan terasa hingga sejauh 2,5 kilometer dari lokasi kejadian, hingga ke Rumah Sakit Fatmawati.
Pada 2014, gudang amunisi milik pasukan khusus Angkatan Laut di Tanjung Priok, Jakarta Utara, meledak dan menewaskan satu perwira serta melukai lebih dari 80 orang lainnya. Sementara itu, ledakan lain pada Maret tahun lalu terjadi di fasilitas penyimpanan amunisi milik Komando Militer Jakarta di Gunung Putri, Bogor. Peristiwa yang terakhir tidak menelan korban jiwa.
Seruan agar tragedi Garut diselidiki secara menyeluruh datang dari berbagai pihak, termasuk dari Ketua DPR Puan Maharani. Ia menggarisbawahi pentingnya akuntabilitas dan penjelasan dari TNI terkait dugaan keterlibatan warga setempat dalam proses pemusnahan amunisi tanpa prosedur keamanan yang tepat. Ia merekomendasikan agar Komisi I DPR yang mengawasi bidang pertahanan memanggil perwira militer terkait, untuk dimintai klarifikasi.
Namun, penyelidikan apa pun terhadap ledakan Garut harus melibatkan lembaga independen, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, mengingat banyaknya masyarakat sipil yang jadi korban. Keterlibatan lembaga yang netral akan memastikan transparansi dan, dengan demikian, kredibilitas hasil penyelidikan. Transparansi penting, karena penyelidikan harus mencari tahu alasan di balik hadirnya warga sipil di zona berbahaya serta siapa yang mengizinkan mereka memasuki wilayah itu.
Seperti dilansir Kompas, warga setempat mengaku telah membantu TNI mengangkut amunisi ke tempat pembuangan, membuka selongsong peluru, menggali lubang peledakan, dan menaruh amunisi di dalamnya. Tampaknya, mereka melakukan prosedur tersebut karena terbiasa menjalankannya, tanpa pernah menerima pelatihan keselamatan formal.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengunjungi lokasi ledakan membenarkan temuan tersebut. Putri salah satu korban mengatakan bahwa ayahnya telah membantu TNI membuang amunisi kedaluwarsa selama bertahun-tahun. Ayahnya juga bukan pemulung, berbeda dengan klaim yang dikatakan TNI.
Apa pun kesimpulan tim pencari fakta, apakah ledakan tersebut merupakan hasil kelalaian atau pelanggaran prosedural yang serius, kecelakaan tersebut telah jadi peringatan bagi TNI untuk tetap teguh pada komitmennya terhadap profesionalisme.
Baru-baru ini, wewenang TNI ditambah, dari peran pertahanan menjadi terlibat dalam urusan yang lebih memasyarakat. Misalnya, membantu mengelola program makan bergizi gratis dan mengerjakan inisiatif untuk swasembada pangan. Pergeseran ini menimbulkan risiko kelalaian dalam tugas utama mereka.
Tergerusnya profesionalisme militer hanya akan membuat kecelakaan tragis seperti yang terjadi di Garut terulang kembali.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.